Kamis, 20 September 2012

Patient Safety

Patient Safety
Kemungkinan terjadinya kecelakaan di penerbangan adalah 1: 3 juta. Di rumah sakit, kemungkinan terjadinya kecelakaan adalah 1: 300.
WHO 2005[1]
Sebagaimana disebutkan oleh WHO, angka kemungkinan terjadinya kecelakaan di rumah sakit jauh lebih besar dari kemungkinan kecelakaan pesawat terbang. Angka ini menunjukkan masalah besar dalam patient-safety di seluruh dunia. Dengan mengacu pada analogi sistem penerbangan dapat dilihat bahwa problem masalah patient safety berasal dari kegagalan sistem, bukan hanya kesalahan orang per orang. Dengan memahami pemikiran sistemik maka penanganan masalah patient safety dapat lebih baik, tidak sepotong-sepotong.
Laporan dari Inggris menyatakan ada beberapa faktor kegagalan sistemik yang menjadi masalah dalam patient safety. Kegagalan sistem pelayanan kesehatan tersebut mencakup: (1)
ineffective systems and processes; (2) poor communication; (3) inadequate
leadership/management, (4) dis-empowerment; dan (5) isolation[2]. Dengan melihat masih
buruknya sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, dapat diduga bahwa kemungkinan kecelakaan di rumah sakit Indonesia menjadi lebih besar dibanding negara maju, seperti Inggris.
Untuk membahas patient safety ini mari kita lihat dahulu kerangka konsep yang dipakai :
Kerangka Konsep 1:
Konsep Berwick dapat dilihat pada Gambar berikut

Dengan melihat Kerangka Konsep Berwick ini, maka usaha-usaha peningkatan mutu pelayanan dapat dirinci secara sistematis, sebagai berikut.
Usaha di pasien dan masyarakat: berbagai kegiatan dalam isu ini yaitu mengembangkan hubungan yang baik antara pasien dan klinisi, menjaga adanya rasa empati kepada pasien, dan melibatkan dan memberdayakan pasien dalam pelayanan kesehatan
Perbaikan proses mikro: berbagai kegiatan antara lain: integrasi praktik, penetapan clinical pathways dalam sistem pelayanan kesehatan; penguatan alat pengambil keputusan bagi para klinisi.
Usaha di organisasi pelayanan kesehatan: usaha perbaikan mutu ini berada pada level organisasi pelayanan kesehatan dengan berbagai kegiatan antara lain: meningkatkan peran para klinisi termasuk clinical leadership dalam patient safety; memberdayakan dan mendukung staf sarana pelayanan kesehatan untuk menerapkan patient safety dalam area kerja mereka; mengidentifikasi dan mengurangi risiko pelayanan kesehatan melalui sistem koordinasi, pelaporan dan feedback yang efektif; mengatasi berbagai hambatan yang timbul dalam penerapan patient safety; mengembangkan diklat sarana pelayanan kesehatan dengan fokus kepada patient safety dan peningkatan kinerja pelayanan klinik; menetapkan mekanisme untuk mengadopsi secara cepat dari hasil penelitian ke praktik sehari-hari; melakukan komputerisasi instruksi pelayanan klinik untuk mengingatkan dan memberikan sinyal; menggunakan tehnologi informasi termasuk e-health.
Usaha perbaikan lingkungan organisasi pelayanan kesehatan: usaha ini berada pada lingkungan luar organisasi pemberi pelayanan kesehatan. Usaha yang dilakukan antara lain: pengembangan kebijakan lisensi dan sertifikasi; mekanisme untuk mempelajari pengalaman dari berbagai pelayanan kesehatan dan industri lain; sistem rujukan antara pelayanan kesehatan tingkat primer, sekunder dan tersier; mengembangkan sistem informasi berbasis web bagi kepentingan konsumen dan sarana pelayanan kesehatan; memberikan materi dan motivasi patient safety dalam pendidikan dokter, perawat, bidan, dan tenaga klinis lainnya; peningkatan peran lembaga atau institusi penilai mutu eksternal dari sarana pelayanan kesehatan; adanya kontrol oleh lembaga pembiayaan pelayanan kesehatan.
Kerangka Konsep 2: Good Governance
Dengan menggunakan konsep good governance ada dua sistem pengendalian: (1) sistem pengendalian mutu eksternal, dan (2) sistem pengendalian mutu internal. Dengan melihat dua sistem pengendalian tersebut maka strategi pengembangan mutu lembaga pelayanan kesehatan adalah menata peran dan tata hubungan antar “pemain atau aktor” di sektor kesehatan dengan dasar good governance. Dalam penataan tersebut akan terlihat pemegang fungsi kebijakan dan regulasi yang akan berfungsi sebagai pengendali eksternal dengan ditambah peran dari masyarakat dan lembaga akreditasi atau pemberi peringkat. Sementara itu, para pelaku usaha pelayanan kesehatan akan mempunyai sistem pengendalian internal masing-masing.
Secara praktis timbul pertanyaan mengenai siapa pengendali mutu eksternal? Jawabannya adalah antara lain dinas kesehatan dan departemen kesehatan. Di samping pengawasan oleh dinas kesehatan, sesama lembaga usaha ada yang berfungsi sebagai pengendali mutu eksternal misalnya badan akreditasi swasta, badan penilai mutu swasta seperti Badan Mutu Pelayanan Kesehatan di DIY, dana Jamkessos, sampai ke perusahaan asuransi kesehatan (PT Askes) yang mempunyai kepentingan dalam mutu.
Peran ikatan profesi dalam patient safety adalah mengembangkan standar pelayanan profesi sampai mengembangkan standar pendapatan profesi agar tidak terjadi kekacauan. Sementara itu, masyarakat mengembangkan sistem kontrol masyarakat dengan berbagai kegiatan termasuk adanya Yayasan Lembaga Konsumen Kesehatan. Kegiatan masyarakat yang sering menimbulkan kegoncangan dalam sistem kesehatan adalah penggunaan instrumen hukum pidana dan perdata untuk menjamin mutu pelayanan.
Pengawasan mutu secara internal dilakukan berdasar inovasi masing-masing di rumah sakit dan kaidah-kaidah pelaku usaha yang baik. Sebagai pelaku usaha tentunya mereka harus menjamin kegiatannya berbasis pada prinsip menjalankan usaha dengan baik.
Patient safety merupakan salah satu isu utama dalam pelayanan kesehatan. Para pengembil kebijakan, memberi pelayanan kesehatan, dan konsumen menempatkan keamanan sebagai prioritas pertama pelayanan. Patient safety merupakan sesuatu yang jauh lebih penting daripada sekedar efisiensi pelayanan. Isu mengenail patient safety mulai muncul pada tahun 1950 dan berkembang luas menjadi opini karena liputan media massa yang masif. Penelitian institute of medicine menjumpai 44.000 sampai 98.000 orang meninggal akibat medical error dan adverse event tindakan medis setiap tahunnya. Kematian akibat tindakan medis merupakan penyebab kematian nomor 8 (lebih tinggi dari kecelakaan lalu lintas, kanker payudara, AIDS), dan 16% lebih tinggi daripada kematian akibat kerja.
Berbagai upaya telah diusahakan secara terus-menerus untuk mengurangi adverse event akibat tindakan medis. Upaya yang dapat dilakukan untuk peningkatan patient safety yaitu dengan: (1) pengembangan sistem untuk identifikasi dan pelaporan risiko, error, atau adverse event, (2) penggunaan teknologi informasi, dan (3) upaya perubahan kultur organisasi.









[1] WHO. 2005. On Governance of Patient safety. Eighth Futures Forum. Erpfendorf. Austria
[2] Higgins W.K. 2002. The Use and Impact of Inquiries in the NHS. British Medical Journal. 325:985-900

Tidak ada komentar:

Posting Komentar