Kamis, 20 September 2012

PENELITIAN DBD DI WONOGIRI


FAKTOR-FAKTOR RESIKO KEJADIAN DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN WONOGIRI KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 2010


Suprio Heryanto,SKM.MKes (1) ;  Purnama Magdalena Simanullang,SKM. (2)

(1) Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri (Pembimbing Lapangan)
(2) Mahasiswa Program Pasca Sarjana Field Epidemiologi Training Program  UGM.

Demam Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan masalah di Indonesia terutama di Kabupaten Wonogiri.  Pada tahun 2009, Jumlah kasus baru/Incidence Rate (IR) DBD di Kabupaten Wonogiri sebesar 3,32/10.000 penduduk (target Nasional < 2) dengan Angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) 0,49% (target Nasional 0%) tersebar di 13 kecamatan dan 48 desa yang endemis DBD. Insiden DBD di Kabupaten Wonogiri dari tahun 2005-2009 mengalami peningkatan, tertinggi terjadi tahun 2009 dengan jumlah penderita 412 orang dengan CFR sebesar 0,49%. Pemberantasan nyamuk secara kimiawi menggunakan insektisida dengan fogging selektif sudah dilakukan di Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan malathion sejak tahun 1990. Penelitian ini dilakukan secara observasional analitik dengan rancangan penelitian case control study. Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut  :
1.    Hasil analisis tingkat pendidikan dengan kejadian demam berdarah dengue menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Berarti bahwa masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah memiliki risiko yang sama terhadap penyakit DBD.
2.    Status bekerja dengan kejadian demam berdarah dengue (DBD) menunjukkan hubungan yang bermakna, mereka yang tidak memiliki pekerjaan akan meningkatkan risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) sebesar 4,2 kali lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki pekerjaan. Mereka yang tidak bekerja lebih banyak berada dirumah ataupun di sekolah, dimana nyamuk Aedes aegypti senang beristirahat dan meletakkan telurnya di dalam ruangan. Biasanya nyamuk betina mencari mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya dimulai pagi sampai petang hari dengan 2 puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00. Hal ini membuat peluang mereka untuk digigit oleh nyamuk Aedes aegypti menjadi lebih besar dibandingkan dengan mereka yang bekerja di luar rumah dengan mobilitas yang tinggi.
3.    Hasil analisis bivariabel antara variabel tempat penampungan air berbasis maya index dengan kejadian DBD di Kecamatan Wonogiri menunjukkan bahwa mereka yang memiliki tempat penampungan air dengan maya index tinggi, sedang tinggi dan tinggi sedang, berisiko terkena DBD dibandingkan dengan mereka yang memilki tempat penampungan air dengan maya index rendah.  
4.    Status bekerja dan maya index selanjutnya dianalisis secara bersama-sama dengan uji conditional regression logistic untuk melihat faktor yang paling dominan untuk menimbulkan kejadian DBD. Faktor yang paling dominan untuk menimbulkan kejadian demam berdarah di Kecamatan Wonogiri adalah status tidak bekerja dengan maya index tinggi kemungkinan terjadi demam berdarah sebesar 4,39 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang mempunyai tempat penampungan air dengan maya index rendah.
5.    Status kerentanan nyamuk Ae. aegypti di 4 desa/kelurahan di Kecamatan Wonogiri sebagian besar sudah berada pada kelompok resisten. Di Kabupaten Wonogiri untuk pengendalian demam berdarah dengue digunakan malation dan abate. Kasus terbanyak terdapat di Kelurahan Wonoboyo (30 kasus) dilakukan fogging sebanyak 15 kali, Giritirto (26 kasus) dilakukan fogging sebanyak 14 kali, Giripurwo (21 kasus) dilakukan fogging sebanyak 15 kali, Wonokarto (15 kasus) dilakukan fogging sebanyak 5 kali, wilayah kelurahan tersebut saling berdekatan satu sama lainnya. Persepsi masyarakat Wonogiri dalam penanggulanan kasus demam berdarah masih fogging minded. Tingginya paparan insektisida organofosfat melalui pelaksanaan fogging focus di Kelurahan Giripurwo, Giritirto dan Wonokarto mempengaruhi kerentanan terhadap nyamuk Aedes aegypti
6.    Sebaran kasus DBD tidak merata diseluruh wilayah kelurahan/desa. Kasus DBD menyebar pada kelurahan dengan kepadatan penduduk 380-3.996 jiwa/km², kasus mengelompok pada pemukiman padat karena pada pemukiman padat penduduk jarak antara rumah-rumah saling berdekatan sehingga memungkinkan penularan demam berdarah dengue, mengingat jarak terbang nyamuk 100 meter .
7.    Berdasarkan jarak dengan unit pelayanan kesehatan, ada kecenderungan kasus mengelompok pada radius 0-3000 m dari unit pelayanan kesehatan atau ada kecendrungan mengelompok pada area pemukiman penduduk. Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan unit pelayanan kesehatan mempunyai akses yang lebih baik untuk memeriksakan kesehatan dibandingkan masyarakat yang mempunyai akses yang jauh dari unit pelayanan kesehatan.  
8.    Berdasarkan hasil analisis terhadap buffer jalan. Ada kecenderungan kasus ke arah pola mengelompok pada radius 0 – 500 m dari jalan. Radius 500 m dari jalan merupakan tempat yang padat pemukiman dan ramai aktivitas masyarakat karena mudahnya akses terhadap jalan. Hal ini berarti bahwa penularan DBD dapat terjadi karena akses yang dekat dengan jalan, kemungkinan ada diantara orang-orang dengan mobilitas yang tinggi, setiap harinya melintasi jalan-jalan tersebut atau berinteraksi disekitar lingkungan jalan tersebut, dimana di dalam tubuh orang tersebut sudah terdapat virus, sehingga memudahkan penularan demam berdarah dengue terhadap orang-orang yang belum terkena namun vektornya sudah ada di lingkungan sekitar jalan tersebut.
9.    Risiko secara individu ini akan diperberat oleh faktor risiko secara kewilayhaan, yaitu bila individu yang tidak bekerja dan mempunyai tempat penampungan air dengan maya index tinggi serta tinggal di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi dan telah terjadi resistensi nyamuk di wilayah tersebut akan sangat berisiko terkena demam berdarah dengue.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut Suprio Heryanto,SKM,MKes. Selaku kepala seksi pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri menghimbau untuk dilakukan pemeriksaan jentik secara berkala (PJB) di rumah, sekolah dan tempat-tempat umum secara lebih intensif  untuk memonitor risiko penyebaran penyakit DBD sehingga DBD dapat dikendalikan secara tepat. Masyarakat hendaknya melakukan PSN secara rutin dan berkesinambungan untuk mengurangi risiko tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Pelaksanaan fogging akan lebih selektif lagi mengingat insektisida jenis organofosfat yang selama ini digunakan untuk penanggulangan DBD di Wonogiri telah resisten terhadap  nyamuk Aedes aegypti. Selanjutnya anggaran dalam pengendalian DBD lebih difokuskan pada pelaksanaan gerakan PSN serentak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar