FAKTOR-FAKTOR RESIKO KEJADIAN
DEMAM BERDARAH DENGUE (DBD) DI KECAMATAN WONOGIRI KABUPATEN WONOGIRI
TAHUN 2010
Suprio
Heryanto,SKM.MKes (1) ; Purnama Magdalena
Simanullang,SKM. (2)
(1) Dinas Kesehatan Kabupaten
Wonogiri (Pembimbing Lapangan)
(2) Mahasiswa
Program Pasca Sarjana Field Epidemiologi Training Program UGM.
Demam
Berdarah Dengue (DBD) masih merupakan
masalah di Indonesia terutama di Kabupaten Wonogiri. Pada tahun 2009, Jumlah kasus baru/Incidence
Rate (IR) DBD di Kabupaten Wonogiri sebesar 3,32/10.000 penduduk (target
Nasional < 2) dengan Angka kematian/Case Fatality Rate (CFR) 0,49% (target
Nasional 0%) tersebar di 13 kecamatan dan 48 desa yang endemis DBD. Insiden DBD
di Kabupaten Wonogiri dari tahun 2005-2009 mengalami peningkatan, tertinggi
terjadi tahun 2009 dengan jumlah penderita 412 orang dengan CFR sebesar 0,49%.
Pemberantasan nyamuk secara kimiawi menggunakan insektisida dengan fogging selektif sudah dilakukan di
Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan malathion sejak tahun 1990. Penelitian
ini dilakukan secara observasional
analitik dengan rancangan penelitian case control study. Hasil
penelitian diperoleh sebagai berikut :
1.
Hasil
analisis tingkat pendidikan dengan kejadian demam berdarah dengue menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Berarti bahwa
masyarakat yang berpendidikan tinggi maupun rendah memiliki risiko yang sama
terhadap penyakit DBD.
2.
Status
bekerja dengan kejadian demam berdarah dengue
(DBD) menunjukkan hubungan yang bermakna, mereka yang tidak memiliki pekerjaan
akan meningkatkan risiko kejadian demam berdarah dengue (DBD) sebesar 4,2 kali lebih besar dibandingkan mereka yang
memiliki pekerjaan. Mereka yang tidak bekerja lebih banyak berada dirumah
ataupun di sekolah, dimana nyamuk Aedes
aegypti senang beristirahat dan meletakkan telurnya di dalam ruangan. Biasanya nyamuk betina mencari
mangsanya pada siang hari. Aktivitas menggigit biasanya dimulai pagi sampai
petang hari dengan 2 puncak aktivitas antara pukul 09.00-10.00 dan 16.00-17.00.
Hal ini membuat peluang mereka untuk digigit oleh nyamuk Aedes aegypti menjadi lebih besar dibandingkan dengan mereka yang
bekerja di luar rumah dengan mobilitas yang tinggi.
3.
Hasil
analisis bivariabel antara variabel tempat penampungan air berbasis maya index dengan kejadian DBD di
Kecamatan Wonogiri menunjukkan bahwa mereka yang memiliki tempat penampungan
air dengan maya index tinggi, sedang
tinggi dan tinggi sedang, berisiko terkena DBD dibandingkan dengan mereka yang
memilki tempat penampungan air dengan maya
index rendah.
4.
Status
bekerja dan maya index selanjutnya
dianalisis secara bersama-sama dengan uji
conditional regression logistic untuk melihat faktor yang paling dominan
untuk menimbulkan kejadian DBD. Faktor yang paling dominan untuk menimbulkan
kejadian demam berdarah di Kecamatan Wonogiri adalah status tidak bekerja dengan
maya index tinggi kemungkinan terjadi
demam berdarah sebesar 4,39 kali lebih besar dibandingkan dengan subjek yang
mempunyai tempat penampungan air dengan maya
index rendah.
5.
Status
kerentanan nyamuk Ae. aegypti di 4
desa/kelurahan di Kecamatan Wonogiri sebagian besar sudah berada pada kelompok
resisten. Di Kabupaten Wonogiri untuk pengendalian demam berdarah dengue digunakan malation dan abate. Kasus terbanyak terdapat di
Kelurahan Wonoboyo (30 kasus) dilakukan fogging
sebanyak 15 kali,
Giritirto (26 kasus) dilakukan fogging
sebanyak 14 kali,
Giripurwo (21 kasus) dilakukan fogging
sebanyak 15 kali,
Wonokarto (15 kasus) dilakukan fogging
sebanyak 5 kali,
wilayah kelurahan tersebut saling berdekatan satu sama lainnya. Persepsi
masyarakat Wonogiri dalam penanggulanan kasus demam berdarah masih fogging minded. Tingginya paparan
insektisida organofosfat melalui pelaksanaan fogging focus di Kelurahan Giripurwo, Giritirto dan Wonokarto
mempengaruhi kerentanan terhadap nyamuk Aedes
aegypti
6.
Sebaran
kasus DBD tidak merata diseluruh wilayah kelurahan/desa. Kasus DBD menyebar
pada kelurahan dengan kepadatan penduduk 380-3.996 jiwa/km², kasus mengelompok
pada pemukiman padat karena pada pemukiman padat penduduk jarak antara
rumah-rumah saling berdekatan sehingga memungkinkan penularan demam berdarah dengue, mengingat jarak terbang nyamuk
100 meter .
7.
Berdasarkan jarak dengan unit pelayanan kesehatan, ada
kecenderungan kasus mengelompok pada radius 0-3000 m dari unit pelayanan
kesehatan atau ada kecendrungan mengelompok pada area pemukiman penduduk.
Masyarakat yang tinggal berdekatan dengan unit pelayanan kesehatan mempunyai
akses yang lebih baik untuk memeriksakan kesehatan dibandingkan masyarakat yang
mempunyai akses yang jauh dari unit pelayanan kesehatan.
8.
Berdasarkan
hasil analisis terhadap buffer
jalan. Ada kecenderungan kasus ke arah pola mengelompok pada radius 0 – 500 m
dari jalan. Radius 500 m dari jalan merupakan tempat yang padat pemukiman dan
ramai aktivitas masyarakat karena mudahnya akses terhadap jalan. Hal ini
berarti bahwa penularan DBD dapat terjadi karena akses yang dekat dengan jalan,
kemungkinan ada diantara orang-orang dengan mobilitas yang tinggi, setiap
harinya melintasi jalan-jalan tersebut atau berinteraksi disekitar lingkungan
jalan tersebut, dimana di dalam tubuh orang tersebut sudah terdapat virus,
sehingga memudahkan penularan demam berdarah dengue terhadap orang-orang yang
belum terkena namun vektornya sudah ada di lingkungan sekitar jalan tersebut.
9.
Risiko secara individu ini akan diperberat oleh faktor
risiko secara kewilayhaan, yaitu bila individu yang tidak bekerja dan mempunyai
tempat penampungan air dengan maya index
tinggi serta tinggal di daerah yang kepadatan penduduknya tinggi dan telah
terjadi resistensi nyamuk di wilayah tersebut akan sangat berisiko terkena
demam berdarah dengue.
Berdasarkan hasil penelitian
tersebut Suprio Heryanto,SKM,MKes. Selaku kepala seksi pengendalian Penyakit
Dinas Kesehatan Kabupaten Wonogiri menghimbau untuk dilakukan pemeriksaan jentik secara
berkala (PJB) di
rumah, sekolah dan tempat-tempat umum secara lebih intensif untuk memonitor risiko penyebaran penyakit DBD sehingga DBD
dapat dikendalikan secara tepat. Masyarakat hendaknya melakukan PSN secara rutin dan
berkesinambungan untuk mengurangi risiko tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. Pelaksanaan fogging akan lebih selektif lagi
mengingat insektisida jenis organofosfat yang selama ini digunakan untuk
penanggulangan DBD di Wonogiri telah resisten terhadap nyamuk Aedes
aegypti. Selanjutnya anggaran dalam pengendalian DBD lebih difokuskan pada
pelaksanaan gerakan PSN serentak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar